Belajar
Hidup selalu untuk belajar
Belajar mengenai hal yang baru maupun
belajar dari masa lalu yang dikemas
dalam bingkai pengalaman yang unik untuk di simpan.
Belajar tidak memaksakan kehendak
terhadap orang lain, walaupun itu menurut kita bagus, demi kebaikan mereka,
demi perbaikan mutu, demi kedisiplinan, terkadang tidak begitu saja bisa di
terima untuk diterapkan. Tapi perlahan
akan tetap ku coba untuk bertahan dan sedikit bersabar. Karena sifat manusia yang cukup beragam.
Belajar untuk keras pada diri
sendiri, belajar untuk melawan ego dan belajar untuk melawan bisikan yang
terkadang memang sulit untuk di pahami. Siapa yang membisikkan, apa tujuannya,
dan tentunnya apa dampaknya. Semua demi kebaikan dan indahnya menyongsong masa
depan.
Belajar untuk bisa menerima keadaan.
Bahwa hidup tak selamanya berjalan
dengan mulus, sesuai dengan mimpi dan harapan. Walaupun seelok mungkin sudah
terlukis dalam benak, dan serapi mungkin tersusun, ternyata tidaklah berjalan
dengan semestinya yang di inginkan. Liku yang terkadang terasa menyenangkan
namun kadangkala terasa sangat membosankan.
Belajar menerima keadaan, belajar
menahan rasa sakitnya terpuruk dalam kekalahan, belajar membesarkan hati yang rapuh namun tetap dengan kepala yang menunduk.
Hidup tak selamanya ada di atas. Roda kehidupan bulat. Tidak dapat di tebak
kapan ia akan berputar dan kapan ia kan
berhenti. Tidak dapat di tebak kapan kita di atas, kapan di bawah dan kapan
berada di tengah. Aku rasa aku akan memilih yang di tengah.
Belajar bahwa ternyata hidup saling
melengkapi itu lebih indah. Ini adalah jawaban dari seorang teman yang menurut
kacamata ku ia nyaris sempurna. Bahwa takdir yang sempurna dan yang tak
sempurna sehingga seimbang dan saling melengkapi. Seseorang yang nyaris sempurna seperti ia
saja memilih seorang yang sederhana, biasa saja, bahkan dari selera terhadap
makanan, tempat, hobi jelas berbanding terbalik. Namun hal yang tidak dimiliki
sang nyaris sempurna namun dimiliki sang sederhana adalah pengertian, ada kapan
dan dimana saja saat dibutuhkan, ketulusan, dan tentunya limpahan perhatian.
Aku menyadari akan satu hal. Hal yang
seketika membuat tersenyum juga menyisipkan rasa takut. Ada setitik harapan
disana. Pada benih yang sengaja kusimpan jauh di dalam. Aku biarkan ia dormansi.
Belum saatnya berkecambah.
Terlintas seketika tentang
penciptaan. Mengapa Allah menciptakan organ yang disebut dengan hati ? mengapa
letaknya ditengah ? Bukan di atas menggunakan otak dan logika. Bukan juga di
bawah menggunakan nafsu dan kekuasaan. Mungkin agar kita selalu menimbang saat
mengambil keputusan. Harus mengikut sertakan hati. Orang bilang sih hati
nurani.
Lalu mengapa stigma jumlahnya lebih
sedikit dari stillus ? mengapa tabung fertilisasi hanya ada satu pada tumbuhan
? bahkan stigma letaknya lebih tinggi dari stillus ?
Lalu pada hewan sendiri, mengapa
hanya ada satu ovum yang matang setiap bulannya ? letaknya juga lebih ke atas
di bandingkan sperma ? Dimana-mana sel jantan yang bergerak mencari sel betina.
Inikah yang di sebut kodrat ? bahwa
memang wanita lebih mulia ? inikah yang disebut surga berada di bawah telapak
kaki ibu ? Bahkan saat terjadinya peleburan sel gamet, mitokondria ibu yang ada
dalam diri kita hingga kita mati. Itu mungkin dasar yang menguatkan bahwa
wanita lebih baik menunggu dan biarkan pria yang mengejar.
Tapi apakah itu masih bisa di jadikan
pedoman ?
Jika perbandingan keduannya tidak
lagi sama ?
Belajar dan masih belajar
Manusia tersusun atas sel, di dalam
sel ada kromosom, kromosom di bangun atas untai DNA. Mereka tak kasat mata
namun nyata. Walaupun sangat mikroskopis, tapi sel hampir tak pernah salah
melalukan tugasnya, tak pernah berbohong dan selalu efisien ? lalu mengapa kita
yang tersusun atas sel tidak melalukan hal yang demikian sel lakukan ?
Semua kembali pada individu
masing-masing,
Karena aku juga masih bertanya-tanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar